payung, satu kata yg mewakili kondisi dan juga sebutan untuk alat yg kelihatan berfungsi melindungi.
sering disebut pelindung saat hujan, tapi nampaknya itu sama sekali tidak berarti apa2, karena payung bukan barang istimewa,
payung tidak utama, selama masih ada topi, keresek, kerdus, emper toko, dan yg lainnya yg bisa menghalangi hujan membasahi badan.
bahkan kesanggupan untuk laripun jelas menghilangkan kebutuhan akan payung, untungnya tidak ada lomba lari cepat menerobos hujan.
walaupun sejarah mencatat payung adalah produk asli inovasi rakyat biasa, tapi kemudian dianeksasi oleh budaya feodal, sehingga sangat sulit mencari artefak visual yg menampilkan rakyat biasa menggunakan payung.
perlawanan terhadap feodalisme bisa jadi menjadi salah satu penghambat pertumbuhan inovasi, sampai penjualan payung, sehingga tidak ada pedagang yang sukses untung besar karena menjual payung, walaupun musim hujan selama apapun.
kepemilikan payung bisa jadi indikator kepedulian akan perlindungan diri, tapi jelas tidak mungkin mengubah kebiasaan para agen asuransi dari memberi hadiah payung untuk nasabah baru, menjadi memberi hadiah asuransi untuk setiap pembeli payung baru.
payung sangat tidak berdaya di negeri dimana perlindungan diri menjadi hal yg selalu digiring menjadi sesuatu yang sakral, sehingga hanya bisa dijadikan berhala yg begitu dipuja saat kampanye.
dengan tembang kenangan sluku2 bathok, para wali menghibur rakyat biasa yg luput dari perlindungan negara dengan mengijinkan ritual memayungi rakyat biasa saat diantar menuju pemakaman diiringi alunan tahlil.
sluku sluku bathok, bathoke ela elo, si romo menyang solo, leh olehe payung motha, mak jenthit lolo lobah, wong mati ora obah, nek obah medeni bocah, nek urip golek duwek.
Senin
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar